Komunikasi Sosial Elite Aceh di Era Pandemi

Oleh Herman RN, Dosen FKIP USK dan Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI) Provinsi Aceh

“MULUTMU HARIMAUMU”, begitu bunyi pepatah lama. Pepatah ini dihidupkan dengan garang oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Alhudri. Karena ingin mencapai angka maksimal vaksinasi di sekolah-sekolah, Kadis Pendidikan dengan lantang ‘mengaum’ meminta mundur para kepala sekolah jika tidak mampu melaksanakan vaksinasi bagi siswa dan guru di sekolah sesuai target.

Guru tersentak. Masyarakat terbelalak. Kadis Pendidikan yang semestinya menjadi teladan, baik dari segi kata-kata maupun sikap, kali ini malah menjadi ‘harimau’ yang terkesan akan menerkam para sekolah. Walhasil, para wali siswa mendatangi kantor Dinas Pendidikan Aceh. Sayangnya, sang kadis tidak berani memperlihatkan taringnya di depan para emak. Begitulah harimau, kalau sudah mengaum belum tentu menerkam.

Entah apa yang ada di benak Kadis Pendidikan Aceh kala itu. Tatkala masyarakat Aceh masih stres menghadapi Pandemi Covid-19, ia bukannya memberi solusi, malah menambah stres kepala sekolah, guru, wali kelas, dan wali siswa. Tentu saja tabiat seperti ini sudah diperlihatkan oleh para pejabat elite Pemerintah Aceh yang lain.

Di awal Pandemi Covid-19, masyarakat Aceh sudah pernah tersentak dengan statemen Juru Bicara Gugus Covid-19 Aceh yang menyatakan Pemerintah Aceh sudah mempersiapkan kuburan massal untuk jenazah Covid-19. Dalam perjalanan, Sekda Aceh pun tidak mau kalah keras mengaum. Gertak demi gertakan terus dilontarkan. Ia mengaum kepada kepala gampong melalui program BEREH, lalu mengaum pula pada kepala sekolah dengan ancaman akan menghentikan dana BOS.

Gaya komunikasi para elite Aceh ini menarik dikaji dan diteliti. Bagaimana strategi komunikasi sosial elite Aceh dalam menangani Covid-19? Apakah dengan gaya mengaum laksana harimau sudah menjadi ciri khas para elite di Aceh dalam menyelesaikan masalah? Tidak adakah bentuk komunikasi yang lebih santun dan teladan?

Kajian komunikasi sosial ini penting bagi masyarakat luas, karena para elite seperti Juru Bicara Gugus Covid-19 Aceh, para kepala dinas, para anggota dewan, hingga Gubernur Aceh merupakan orang-orang yang diteladani, baik dari sisi sikap maupun kata-katanya. Mereka adalah orang yang memiliki kuasa dari sisi jabatan, memiliki kebijakan dari sisi peraturan, dan memiliki kharisma (seharusnya) dari sisi kepemimpinan.

Mereka yang menduduki jabatan elite diharapkan mampu menjadi tetesan hujan yang menyejukkan panasnya suasana kehidupan sosial masyarakat. Mereka yang menduduki jabatan elite diharapkan mampu menjadi pelita di antara gelapnya perekonomian dan pendidikan di Aceh. Manakala pernyataan para elite tidak menjadi tetesan hujan, tidak menjelma pelita, siapa lagi yang pantas dijadikan teladan oleh masyarakat?

Jika pejabat elite tidak mampu menjaga komunikasi sosial mereka, jangan salahkan masyarakat Aceh yang awam pun kerap mengeluarkan kata-kata cacian, makian, dan hujatan di media sosial. Mereka mencontoh pimpinannya.

Kehidupan sosial masyarakat Aceh sudah centang-prenang sejak Pandemi Covid-19. Mata pencaharian banyak yang raib, bukan hanya karena birokrasi, tetapi juga karena banyaknya orang yang hidup dalam ketakutan sehingga memilih pulang kampung.

0 Response to "Komunikasi Sosial Elite Aceh di Era Pandemi"

Post a Comment